Proses perancangan interior bertujuan untuk
memecahkan masalah yang kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap
ruang. Untuk dapat memecahkan masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep
perancangan yang tepat. Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada
pendekatan yang dilakukan dalam proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara
memahami beberapa hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis,
pemetaan pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri dengan
perumusan konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah
permasalahan desain yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi
yang jelas dan sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang
tepat dapat dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan
mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara
utuh.
LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya
merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian
dalam dari sebuah bangunan. Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior
berkaitan dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan
kondisi ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot,
utilitas seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk
mengalirkan udara alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal
dan elektrikal seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik
berkaitan dengan faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya
yang membentuk persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu[1].
Permasalahan yang kompleks
tersebut perlu diperhitungkan dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior
yang memberikan penyelesaian masalah secara integral. Dengan menggunakan
metolodogi desain yang sistematis (systematic
design method)[2]
maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan
mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk
kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah.
Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk
menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan
dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal
yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan
ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian ide-ide
awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering disebut
sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain itulah
sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan desain dapat
simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain. Oleh karena
itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus mulai
merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain
dalam perancangan interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh
permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam
satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke
dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian maka diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan
menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses perancangan
desain interior yang menggunakan metodologi transparan agar permasalahan yang
kompleks dapat diuraikan secara sistematis, dan formulasi pemecahan masalah
berupa konsep perancangan dapat disusun untuk mengikat hasil rancangan menjadi
satu solusi yang integral.
KOMPONEN PEMAHAMAN DESAIN
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual
dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang hakekat desain yang
secara umum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis,
dan (3) desain sebagai perwujudan
nilai ekonomis. Tiga komponen
ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan
(1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan
buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik
dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup, kepercayaan,
mitos, dan lain-lain. Disini desain merupakan sarana untuk menginterpretasikan
nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain ke dalam wujud
materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan sesuatu nilai
budaya tertentu. Dengan demikian maka desain dikonsentrasikan pada olah bentuk,
komposisi dan kombinasi dari bahan, proporsi, tekstur, warna, dan unsur-unsur
detail lainnya. Jadi, dalam konteks ini desain dipahami sebagai seni. Untuk
mampu memahami desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya maka
diperlukan suatu pengalaman mental tertentu. Jadi seseorang perlu masuk ke dalam konteks
pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya) maupun
disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan pada
masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar lingkungan
kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan nilai-nilai,
pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota masyarakat
tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui kehidupan
sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada desain
benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang yang bukan
anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu menyusun
pengalaman mental tersebut. Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai simbolik
dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan
religius, museum, city hall,
perpustakaan, dan lain-lain. Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain
tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional. Disini desain merupakan
sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini muncul sejak adanya
revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang
sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu teknik (engineering). Desain dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah
dengan pendekatan-pendekatan empirik untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara objektif dan
hasil temuannya dapat digeneralisasikan. Hasil atau wujud konkrit dari
pemahaman desain sebagai pemecahan masalah teknis adalah desain-desain modern
yang mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya desain menjadi bersifat mekanis
dan rakitan. Hal ini dapat dilihat contohnya seperti penggunaan bahan-bahan
industrial yang standar, homogen dan dapat dirakit secara cepat dan mudah serta
hasilnya kuat atau optimum secara teknis. Wujud yang tercipta biasanya
bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan bahan, konstruksi, tekstur,
pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas. Disini
desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya
dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sama halnya dengan pemahaman yang
kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak
adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi
industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya
konsumsi masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh
suatu nilai baru yaitu pencitraan (image
projection). Pencitraan diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya
konsumsi masa. Dari pencitraan inilah muncul apa yang disebut sebagai trend. Trend dalam dunia desain dapat diartikan sebagai kecenderungan
dalam mengikuti dan menggunakan model desain tertentu dalam kurun waktu yang
sementara. Trend ini selalu
diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas model
desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai ekonomis
dapat dipahami melalui pencitraan. Pencitraan ini selalu dikaitkan dengan
produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan
ruang-ruang komersial (commercial space)
seperti perwujudan citra merek dagang (brand
image) pada penataan interior outlet
pertokoan, waralaba (frenchise), dan
sebagainya.
SKEMA PERANCANGAN METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan
untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah
memahami tentang skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam
perancangan. Karena perancangan interior pada umumnya memiliki kompleksitas
permasalahan yang relatif tinggi, maka metode yang paling banyak digunakan
adalah metode analitis (analitical method).
Hal ini mengacu pada metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa
yang dinamakan “berpikir sebelum menggambar” (“thinking before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar
yang didalamnya dapat dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih
spesifik yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode
analitis ini hasil rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan
sebelumnya. Proses tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan,
literature, tipologi, analisis pemrograman, sintesis, skematik desain,
penyusunan konsep dan pewujudan desain.
Gambar 1: Skema
perancangan metode analitis
Untuk memunculkan sebuah kebutuhan
perancangan maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan[4].
Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai
penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu
ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat
diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan
permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai
orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki kepekaan
untuk menemukan kendala-kendala tersebut[5].
Langkah selanjutnya adalah
melakukan pendataan. Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu
kondisi objek yang akan dirancang meliputi data fisik ( unsur pembentuk dan pengisi ruang,
ukuran-ukuran, material, kondisi udara, suara, cahaya dan lain-lain) dan data
non fisik (lingkungan sosial, ekonomi, budaya, psikologis dan lain-lain). Data
lainnya adalah data literatur. Data literatur sangat penting untuk dijadikan
tolok ukur perancangan. Data literatur disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya
untuk menilai hasil pendataan fisik dan non fisik. Data literatur dapat disusun
secara tekstual maupun tidak. Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan
formalistik maka tidak perlu dicantumkan dalam pendataan, karena mudah
dimengerti secara umum. Literatur yang spesifik yang berkaitan dengan
permasalahan utama perancangan penting untuk dicantumkan secara mendetail dalam
proses pendataan. Jenis data ketiga adalah data tipologi, yaitu berupa data
lapangan yang diambil dari lokasi berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan
data lapangan yang menjadi objek perancangan. Data tipologi ini berfungsi
sebagai pembanding atas data lapangan. Disamping itu data tipologi juga dapat
digunakan sebagai tolok ukur untuk membantu kasus-kasus perancangan yang sulit
dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap
maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis. Tahap ini merupakan tahap
pemrograman, yaitu membuat program-program kebutuhan desain berdasarkan
hasil-hasil analisis. Semakin data yang dihimpun lengkap maka hasil analisis
pun dapat semakin tuntas sehingga program-program kebutuhan yang dimunculkan
akan dapat menjadi acuan yang dapat dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan
dasar dalam menarik sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan
alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat
dipecah menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah
perancangan atau skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep
desain yang dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep
dasar desain ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi
sebuah produk desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga
perlu dievaluasi berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis
pemrograman melalui sebuah proses umpan balik (feed back).[6]
PEMETAAN POLA PIKIR DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang
skema perancangan merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena
itu, langkah ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual
dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir
desain, yaitu posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap
objek yang dirancang[7].
Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki
tiga materi yaitu tapak (site),
program dan ide[8].
Gambar 2: Pemetaan
pola pikir desain
Apabila seseorang hanya memiliki
tapak dan program maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit.
Pekerjaan ini lebih mudah karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan
dari olah tapak dengan mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk
mengolah tapak tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang
fungsional. Sebagai sebuah rakitan maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak,
standar objektif, dan homogen. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki
tapak dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang seniman. Pekerjaan
ini lebih bebas karena ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya sendiri tanpa
adanya batasan-batasan dari program yang telah ditetapkan. Hasil dari pekerjaan
ini adalah desain yang ekspresif. Sebagai sebuah hasil ekspresi seni maka
desain ini memiliki ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan khas atau
unik. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki program dan ide maka ia akan
memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih idealis
karena ia dapat mengolah program yang telah ditetapkan dengan ide-idenya
sendiri tanpa adanya tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil dari
pekerjaan ini adalah desain yang eksperimental bahkan terkadang utopis sehingga
hanya ada di dalam angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan secara
nyata. Sebagai sebuah hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka desain ini
memiliki ciri-ciri sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang
memiliki ketiga materi yaitu tapak, program dan ide berarti seorang desainer
hendaknya mampu menjembatani tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman
dan pemimpi menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan
yang lain. Jadi hasil kerja desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap
memperhatikan ekspresi dan juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka
peluang bagi pengembangan lebih lanjut. Dengan demikian maka karya seorang
desainer bukan karya yang statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif
sepenuhnya melainkan tetap bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan
karya yang mengawang-awang melainkan realistis dan dapat diwujudkan.
METODE PENDEKATAN DESAIN
Langkah keempat yang perlu
dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan
interior adalah memahami tentang metode pendekatan desain. Ada banyak
metode-metode pendekatan desain yang dapat dipakai dalam proses perancangan
interior, meliputi metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis,
programatik, ideologis, dan substansif. Metode-metode pendekatan tersebut
diperlukan untuk mewujudkan ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep
menjadi sebuah desain. Jadi metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan
konsep itu sendiri melainkan merupakan “katalisator” konsep.
Gambar 3. Metode Pendekatan Desain
Uraian macam-macam metode
pendekatan desain ini merupakan pengembangan dari metode-metode yang
dikemukakan oleh Broadbent (1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode
pendekatan pragmatis maka olah desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil
desain bersifat eksploratif dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui
setelah melalui proses evaluasi berkala. Apabila hasil desain tidak mampu
memecahkan masalah secara tepat maka akan dicoba lagi dengan alternatif pengolahan
yang lain, demikian seterusnya hingga sampai pada batas tertentu hasil olah
desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan
tipologis maka olah desain dilakukan
dengan cara mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap
berhasil. Hasil desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan
masalah akan diketahui bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi
dengan model yang dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis
maka olah desain dilakukan dengan
cara membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam
atau lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan
ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter
desain dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan
sintaktis maka olah desain
didasarkan pada seperangkat aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah
aturan-aturan geometris. Hasil desain bersifat material terstruktur dan
ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain
dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan programatis maka olah desain didasarkan
pada seperangkat aturan program.
Hasil desain bersifat material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan
diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah
ditetapkan.
Melalui metode pendekatan
ideologis maka olah desain
didasarkan pada cita-cita yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham
tertentu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat
ideal menurut faham yang dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui
kesesuaian dengan wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai
dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan
substansif maka olah desain
didasarkan pada hakikat atas
apa yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang
mendasar atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui
prinsip-prinsip kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan
melalui penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di
atas maka penggunaan metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan
sintaktis biasanya mampu menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata
karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit. Sementara
itu penggunaan metode pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat
menghasilkan desain yang aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur
kadang lebih bersifat abstrak. Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian
dari metode analitis yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).
PERUMUSAN
KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep
desain maka pengertian tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus
dipahami. Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan
dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang
universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian
atau hubungan” (http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka
konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur
yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu
kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data
guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat
yang telah dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami
menuju pada perumusan konsep desain. Empat langkah tersebut berguna untuk
memetakan atau menetapkan jenis dan arah perancangan. Dengan memahami komponen
pemahaman desain maka sebuah objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut
pandang yang tepat apakah masuk dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional,
ataukah ruang komersial. Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik
yang berbeda yang akan menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang
dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan
metode analitis maka sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati,
ditemukan, dan diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam
proses perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan
dijalankan tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan
kerja yang sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola
pikir desain maka desainer dapat menyadari posisinya terhadap objek perancangan,
sehingga ia dapat memandang objek perancangan tersebut secara menyeluruh
meliputi semua unsur yang ada baik itu tapak, program, maupun ide. Dari sini
seorang desainer dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi yang harus
dijalankan, dan bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi yang
masing-masing hanya menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
Dengan memahami metode pendekatan desain maka sebuah objek perancangan
dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan metode pendekatan tertentu.
Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka semakin fokus pula metode
pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode pendekatan yang tepat akan
sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan telah
ditelusuri dengan menggunakan empat langkah tersebut maka objek perancangan
tersebut telah terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang pemahaman. Dengan
demikian maka objek perancangan yang tadinya rumit dan kompleks menjadi lebih
sederhana, sehingga permasalahan-permasalahan dapat dipilah-pilah bagian per
bagian secara sistematis dan terstruktur. Dengan adanya pemilahan permasalahan
ini maka perumusan konsep (sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sehimpunan
unsur yang melakukan suatu kegiatan
menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk
mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi)
dapat dilakukan dengan lebih mudah. Perumusan konsep yang berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang mencakup banyak unsur akan dapat menciptakan
konsep yang tepat sehingga dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah
desain yang terintegrasi secara utuh[9].
SIMPULAN
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat
disederhanakan dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan
mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola
pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan
konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain
tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke dalam
perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah
desain yang terintegrasi secara utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar