Selasa, 18 November 2014

3 SOAL



1 . MEMBUAT TULISAN DI BLOG DENGAN TEMA BANGUNAN HEMAT ENERGI


Ancaman bahaya pemanasan global membuat sejumlah pengembang mulai sadar memperhatikan aspek lingkungan. Itu sebabnya, saat membangun proyek perkantoran, pengembang mulai menerapkan konsep hijau dan ramah lingkungan.

Sebagai contoh, proyek gedung perkantoran Allianz Tower di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Sebagai pengembang, PT Medialand International menerapkan konsep ramah lingkungan serta hemat energi terhadap gedung berlantai 28. Allianz Tower memakai konsep bangunan Environmental Sustainable Design (ESD). Bentuk bangunan gedungnya pipih di sisi Timur dan Barat karena bisa mengurangi cahaya panas serta sinar matahari langsung. areal seluas 7.000 meter persegi ini, arsitek bakal membuat sistem satu pendopo (basement) dengan ukuran yang minimalis. Sehingga kompleks tersebut menyisakan hingga 70 % areal untuk ruang terbuka hijau. Tujuannya, supaya bisa dipakai sebagai areal resapan air. gedung ini memiliki sistem daur ulang air hujan dan air kotor untuk mengurangi jumlah air yang dibuang ke saluran. Sehingga sekitar 80% dari air kotor yang didaur ulang bisa terpakai kembali. Misalnya untuk menyiram tanaman, sebagai air pembersih toilet, serta sebagai bahan baku pendingin ruang kerja berkat sistem water cooler air condition.

Grup Ciputra juga memasukkan konsep serupa di proyek Ciputra Multivision Tower di Kuningan, gedung ini menggunakan sistem double glassing. Artinya, sinar matahari bisa bebas masuk ruangan, tapi ruangan tetap bisa dingin. Perkantoran itu juga menerapkan sistem daur ulang air limbah serta menanam pepohonan.

Sedangkan PT Bakrieland Development sudah terlebih dulu menggunakan konsep hijau saat mendirikan Bakrie Tower. Misalnya, konsep bangunan tipe belah ketupat. Jarak antar gedung tidak berjauhan. Tujuannya, agar tidak terkena panas langsung dan ruang di bawah tetap sejuk. Konsep gedung hijau ini ternyata butuh pengorbanan. Konsep ini butuh tambahan anggaran investasi antara 20%-30%.
Pembangunan bangunan hemat energi dan ramah lingkungan harus murah, mudah, dan berdampak luas. Pengembangan kota hijau (green city), properti hijau (green property), bangunan hijau (green building), kantor/sekolah hijau (green school/office), hingga pemakaian produk hijau (green product) terus dilakukan untuk turut mengurangi pemanasan global dan krisis ekonomi global.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mendorong pembangunan bangunan berarsitektur lokal terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal.Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi bahan, dan material ramah lingkungan (green product).

Bangunan hijau mensyaratkan lay out desain bangunan (10 %), konsumsi dan pengelolaan air bersih (10 %), pemenuhan energi listrik (30%), bahan bangunan (15 %), kualitas udara dalam (20 %), dan terobosan inovasi (teknologi, operasional) sebesar 15 %.

PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE :
1.    Hemat energi / Conserving energy : Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan ).
2.    Memperhatikan kondisi iklim / Working with climate : Mendisain bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada.
3.    Minimizing new resources : mendisain dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang.
4.    Penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam.
5.    Tidak berdampak negative bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut / Respect for site : Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada dan tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada )
6.    Merespon keadaan tapak dari bangunan / Respect for user : Dalam merancang bangunan harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya.
7.    Menetapkan seluruh prinsip – prinsip green architecture secara keseluruhan / Holism : Ketentuan diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.

Pemanfaatan energi alternatif

Untuk menghemat pemakaian listrik, kita dapat menggunakan lampu hemat energi, mempertahankan suhu AC di 25ยบ C, membuka tirai jendela bila memungkinkan agar terang, dan matikan peralatan elektronik jika tidak diperlukan (bukan posisi stand-by).

Penghuni diharapkan memanfaatkan energi alternatif dalam memenuhi kebutuhan listrik yang murah dan praktis, serta ditunjang pengembangan teknologi energi tenaga surya, angin, atau biogas untuk bangunan rumah/ gedung.

Penggunaan material lokal akan lebih menghemat biaya (biaya produksi, angkutan). Kreativitas desain sangat dibutuhkan untuk menghasilkan bangunan berbahan lokal menjadi lebih menarik, keunikan khas lokal, dan mudah diganti dan diperoleh dari tempat sekitar. Perpaduan material batu kali atau batu bata untuk fondasi dan dinding, dinding dari kayu atau gedeg modern (bambu), atap genteng, dan lantai teraso tidak kalah bagus dengan bangunan berdinding beton dan kaca, rangka dan atap baja, serta lantai keramik, marmer, atau granit. Motif dan ornamen lokal pada dekoratif bangunan juga memberikan nilai tambah tersendiri.

Pemanfaatan material bekas atau sisa untuk bahan renovasi bangunan juga dapat menghasilkan bangunan yang indah dan fungsional.Kusen, daun pintu atau jendela, kaca, teraso, hingga tangga dan pagar besi bekas masih bisa dirapikan, diberi sentuhan baru, dan dipakai ulang yang dapat memberikan suasana baru pada bangunan.Lebih murah dan tetap kuat.

Skala bangunan dan proporsi ruang terbuka harus memerhatikan koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien dasar hijau (KDH) yang berkisar 40-70 % ruang terbangun berbanding 30-60 % untuk ruang hijau untuk bernapas dan menyerap air. Keseluruhan atau sebagian atap bangunan dikembalikan sebagai ruang hijau pengganti lahan yang dipakai massa bangunan di bagian bawahnya. Atap-atap bangunan dikembangkan menjadi taman atap (roof garden) dan dinding dijalari tanaman rambat (green wall) agar suhu udara di luar dan dalam turun, pencemaran berkurang, dan ruang hijau bertambah.

Pemanasan bumi
Keberadaan taman dan pohon penting dalam mengantisipasi pemanasan bumi. Ruang dalam bangunan diisi tanaman pot.Ruang hijau diolah menjadi kebun sayuran dan apotek hidup serta ditanami pohon buah-buahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Penghuni dapat memelihara dan melindungi pohon dengan mengadopsi dan menjadi orangtua angkat pohon-pohon besar yang ada di depan jalan depan bangunan (rumah, gedung) kita.

Idealnya, air hujan bisa diserap ke dalam tanah sebesar 30 %. Dengan banyaknya bangunan beton, jalan aspal, dan minim ruang terbuka hijau, kota (seperti Jakarta) hanya mampu menyerap 9 % air hujan. Maka, saat musim hujan kebanjiran, musim panas kekeringan. Sementara konsumsi air dari PDAM hanya 47 %, sedangkan air tanah mencapai 53%.

Bangunan harus mulai mengurangi pemakaian air (reduce), penggunaan kembali air untuk berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih (recycle), dan mengisi kembali air tanah (recharge) dengan sumur resapan air (1 x 1 x 2 meter) dan/atau lubang resapan biopori (10 sentimeter x 1 meter).

Semua air limbah dimasukkan ke dalam sumur resapan air dengan pengolahan konvensional supaya tidak harus terlalu bergantung kepada sistem lingkungan yang ada.Cara hemat penggunaan air adalah tutup keran bila tidak diperlukan, jangan biarkan air keran menetes, hemat air saat cuci tangan dan cuci gelas/piring, pilih dual flush untuk toilet, selalu habiskan air yang Anda minum.

Dalam mengolah budaya sampah, bangunan menyediakan tempat pengolahan sampah mandiri sejak dari sumbernya.Penghuni diajak mengurangi (reduce) pemakaian barang sulit terurai.Sampah anorganik dipilah dan digunakan ulang atau dijual ke pemulung.Sampah organik diolah menjadi pupuk kompos untuk menyuburkan tanaman kebun.Tidak ada sampah yang terbuang (zero waste).

Menurut WHO (2006), 70 persen polusi di Jakarta berasal dari kendaraan bermotor. Menanam 5 pohon hanya mampu menyerap emisi CO2 yang dikeluarkan oleh 1 mobil! Dan, emisi per orang untuk menempuh tiap kilometer perjalanan dengan mobil pribadi adalah 15 kali bus.Kita perlu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, beralih ke alat transportasi publik ramah lingkungan, car pooling, ajak rekan-rekan searah, eco-driving. Beruntung jika bangunan dekat sekolah, pasar, atau kantor, kita cukup naik sepeda atau berjalan kaki.

Kita dapat menerapkan sistem manajemen lingkungan mulai dari rumah, sekolah, hingga kantor secara praktis dan sederhana untuk membantu dan mendukung terwujudnya bangunan hemat energi dan ramah lingkungan, menginspirasi penghuni dalam menerapkan kebiasaan ramah lingkungan, membantu menekan biaya rumah tangga, mengurangi konsumsi sumber daya alam, mempromosikan praktik lestari melalui peningkatan kesadartahuan penghuni, mempromosikan cara-cara mitigasi perubahan iklim lewat penghematan energi dan pemakaian energi terbarukan.
Ada beberapa beberapa hal yang bisa dilakukan agar sebuah kantor atau gedung hemat energi. Antara lain sudah diaplikasikan pada Gedung Annex lantai 5 Kantor Ditjen Ketenagalistrikan yang menjadi gedung kantor EECHI. Fitur-fitur pada kantor hemat energi haruslah meliputi seluruh rancangan, material, desain interior, sistem operasional dan teknologi yang digunakan adalah yang hemat energi.
Ada beberapa fitur khusus dari kantor ini yang membuatnya hemat energi yaitu,
1.    penggunaan langit-langit yang lebih tinggi serta pengorganisasian ruangan dan partisi guna memaksimalkan cahaya alami dan distribusi AC yang lebih baik.
2.    penggunaan AC dengan Variable Refrigerant Volume (VRV) multi split system yang bisa menghemat energi hingga 30-40% dibandingkan AC biasa.
3.    pengendalian udara segar melalui pengukuran jumlah air kondensat yang keluar dari unit AC serta pengukuran kandungan CO2 yang dapat membantu untuk mendeteksi kebocoran.
4.    penggunaan lampu jenis T5 yang hemat energi dengan pengontrol cahaya dan sensor okupansi.
5.    penggunaan reflektor cahaya pada dinding horisontal luar jendela untuk menahan panas.
6.    penggunaan material-material yang ramah lingkungan seperti bahan lantai yang terbuat dari bambu dan cat rendah VOC.

Dalam pelaksanaan gedung hemat energi  dilakukan  retrofitting atau upgrade terlebih dahulu. Kondisi Kantor EECCHI misalnya, sebelum retrofitting mempunyai Indeks Konsumsi Energi sebesar 170 kWh/m2/tahun.
Selain itu, suhu ruangan dan RH lebih tinggi dari nilai yang direkomendasikan terutama setelah AC sentral dimatikan pada jam 15:00, suhu ruangan tinggi pada saat jam kantor, umumnya di atas 26°C dan tingkat kelembaban tinggi pada jam kantor, umumnya antara 60-70%.
Kadar CO2 yang tinggi di dalam ruangan mengindikasikan bahwa terlalu banyak udara segar di ruangan akibat tingginya tingkat kebocoran udara melalui pintu, jendela dan celah partisi (infiltrasi udara luar). Tingkat kebisingan dalam ruangan juga diperhitungkan dengan rata-rata 70 dBA, yaitu jauh di atas ambang batas standar Internasional untuk perkantoran.
Karenanya harus dilakukan perbai­kan dan inovasi pada ruaangan. Antara lain dengan desain interior yang memak­si­­malkan penggunaan energi dan kenya­manan dipadu dengan teknologi.
Contoh Bangunan Hemat Energi

Sebagai penentu skema Green Mark untuk bangunan hijau Singapura, Building and Construction
Academy (BCA) telah memberi contoh bagaimana sebuah bangunan bisa disebut hijau (green). BCA membangun kembali gedungnya yang disebut BCA Academy hingga menjadi sebuah kompleks bangunan yang disebut zero energy building (ZEP) atau bangunan nol energi.


 http://assets.kompas.com/data/photo/2011/10/03/1557235620X310.jpg
Disebut nol energi karena bangunan yang dirancang oleh DP Architect itu memproduksi energi untuk keperluan sehari-hari dengan menggunakan panel tenaga matahari.BCA Academy juga memanfaatkan kekayaan alam semaksimal mungkin.

Selain menggunakan tenaga matahari sebagai sumber energi, mereka juga menampung air hujan untuk digunakan sebagai toilet.Hampir tidak ada sisi gedung yang tidak terkena sinar matahari sehingga menghemat penggunaan listrik untuk penerangan, terutama di siang hari.

Dibandingkan dengan gedung-gedung dengan kapasitas serupa, penggunaan energi di BCA Academy jauh lebih hemat. Berdasarkan tarif listrik 21,69 sen per kwh, bangunan ini berhasil menghemat pengeluaran hingga 84.000 dollar Singapura per tahun.

Sejumlah fitur menarik dari bangunan seluas 4.500 meter persegi itu antara lain sistem peneduh yang ditempatkan secara strategis sehingga bangunan terlindung dari terik matahari, namun interior bangunan tetap mendapat cahaya alami.

Di negara tropis, penggunaan energi listrik terbesar adalah untuk air conditioner. Para arsitek BCA menyiasati tingginya temperatur dengan tanaman rambat yang ditanam secara vertikal.Ada dua manfaat sekaligus dengan sistem ini, yaitu dinding terlindung dari paparan langsung sinar matahari sekaligus untuk menurunkan temperatur dalam ruangan.



http://www.qa.com.sg/images/bca.jpg

http://cdn.asia.cnet.com/i/r/2009/pg/62059101/sc001.jpg 

http://cdn.asia.cnet.com/i/r/2009/pg/62059101/sc005.jpg
http://cdn.asia.cnet.com/i/r/2009/pg/62059101/sc006.jpg

http://cdn.asia.cnet.com/i/r/2009/pg/62059101/sc003.jpg

http://cdn.asia.cnet.com/i/r/2009/pg/62059101/sc007.jpg



Proses perancangan interior bertujuan untuk memecahkan masalah yang kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap ruang. Untuk dapat memecahkan masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep perancangan yang tepat. Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara memahami beberapa hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri dengan perumusan konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah permasalahan desain yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi yang jelas dan sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang tepat dapat dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.

LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian dalam dari sebuah bangunan.Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior berkaitan dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan kondisi ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot, utilitas seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk mengalirkan udara alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal dan elektrikal seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik berkaitan dengan faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya yang membentuk persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu[1].
Permasalahan yang kompleks tersebut perlu diperhitungkan dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior yang memberikan penyelesaian masalah secara integral. Dengan menggunakan metolodogi desain yang sistematis (systematic design method)[2] maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah. Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian ide-ide awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering disebut sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain itulah sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan desain dapat simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain. Oleh karena itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus mulai merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain dalam perancangan interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian maka diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Tulisan  ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses perancangan desain interior yang menggunakan metodologi transparan agar permasalahan yang kompleks dapat diuraikan secara sistematis, dan formulasi pemecahan masalah berupa konsep perancangan dapat disusun untuk mengikat hasil rancangan menjadi satu solusi yang integral.

KOMPONEN PEMAHAMAN DESAIN
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang hakekat desain yang secara umum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis, dan (3) desain sebagai perwujudan nilai ekonomis. Tiga komponen ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan (1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain.Disini desain merupakan sarana untuk menginterpretasikan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan sesuatu nilai budaya tertentu.Dengan demikian maka desain dikonsentrasikan pada olah bentuk, komposisi dan kombinasi dari bahan, proporsi, tekstur, warna, dan unsur-unsur detail lainnya.Jadi, dalam konteks ini desain dipahami sebagai seni.Untuk mampu memahami desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya maka diperlukan suatu pengalaman mental tertentu.Jadi  seseorang perlu masuk ke dalam konteks pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya) maupun disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan pada masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar lingkungan kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota masyarakat tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui kehidupan sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada desain benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang yang bukan anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu menyusun pengalaman mental tersebut.Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai simbolik dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan religius, museum, city hall, perpustakaan, dan lain-lain.Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional.Disini desain merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari.Pemahaman ini muncul sejak adanya revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu teknik (engineering).Desain dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah dengan pendekatan-pendekatan empirik untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara objektif dan hasil temuannya dapat digeneralisasikan.Hasil atau wujud konkrit dari pemahaman desain sebagai pemecahan masalah teknis adalah desain-desain modern yang mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya desain menjadi bersifat mekanis dan rakitan.Hal ini dapat dilihat contohnya seperti penggunaan bahan-bahan industrial yang standar, homogen dan dapat dirakit secara cepat dan mudah serta hasilnya kuat atau optimum secara teknis.Wujud yang tercipta biasanya bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan bahan, konstruksi, tekstur, pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas.Disini desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.Sama halnya dengan pemahaman yang kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya konsumsi masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh suatu nilai baru yaitu pencitraan (image projection).Pencitraan diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya konsumsi masa. Dari pencitraan inilah muncul apa yang disebut sebagai trend. Trend dalam dunia desain dapat diartikan sebagai kecenderungan dalam mengikuti dan menggunakan model desain tertentu dalam kurun waktu yang sementara.Trend ini selalu diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas model desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai ekonomis dapat dipahami melalui pencitraan.Pencitraan ini selalu dikaitkan dengan produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan ruang-ruang komersial (commercial space) seperti perwujudan citra merek dagang (brand image) pada penataan interior outlet pertokoan, waralaba (frenchise), dan sebagainya.

SKEMA PERANCANGAN METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam perancangan. Karena perancangan interior pada umumnya memiliki kompleksitas permasalahan yang relatif tinggi, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode analitis (analitical method). Hal ini mengacu pada metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa yang dinamakan “berpikir sebelum menggambar” (“thinking before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar yang didalamnya dapat dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih spesifik yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode analitis ini hasil rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan sebelumnya. Proses tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan, literature, tipologi, analisis pemrograman, sintesis, skematik desain, penyusunan konsep dan pewujudan desain.

Gambar 1: Skema perancangan metode analitis

Untuk memunculkan sebuah kebutuhan perancangan maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan[4]. Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki kepekaan untuk menemukan kendala-kendala tersebut[5].
Langkah selanjutnya adalah melakukan pendataan. Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu kondisi objek yang akan dirancang meliputi data fisik  ( unsur pembentuk dan pengisi ruang, ukuran-ukuran, material, kondisi udara, suara, cahaya dan lain-lain) dan data non fisik (lingkungan sosial, ekonomi, budaya, psikologis dan lain-lain). Data lainnya adalah data literatur.Data literatur sangat penting untuk dijadikan tolok ukur perancangan.Data literatur disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya untuk menilai hasil pendataan fisik dan non fisik.Data literatur dapat disusun secara tekstual maupun tidak.Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan formalistik maka tidak perlu dicantumkan dalam pendataan, karena mudah dimengerti secara umum. Literatur yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan utama perancangan penting untuk dicantumkan secara mendetail dalam proses pendataan. Jenis data ketiga adalah data tipologi, yaitu berupa data lapangan yang diambil dari lokasi berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan data lapangan yang menjadi objek perancangan. Data tipologi ini berfungsi sebagai pembanding atas data lapangan.Disamping itu data tipologi juga dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk membantu kasus-kasus perancangan yang sulit dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis.Tahap ini merupakan tahap pemrograman, yaitu membuat program-program kebutuhan desain berdasarkan hasil-hasil analisis. Semakin data yang dihimpun lengkap maka hasil analisis pun dapat semakin tuntas sehingga program-program kebutuhan yang dimunculkan akan dapat menjadi acuan yang dapat dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan dasar dalam menarik sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat dipecah menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah perancangan atau skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep desain yang dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep dasar desain ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah produk desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga perlu dievaluasi berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis pemrograman melalui sebuah proses umpan balik (feed back).[6]

PEMETAAN POLA PIKIR DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang skema perancangan merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena itu, langkah ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir desain, yaitu posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap objek yang dirancang[7]. Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki tiga materi yaitu tapak (site), program dan ide[8].



Gambar 2: Pemetaan pola pikir desain

Apabila seseorang hanya memiliki tapak dan program maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit. Pekerjaan ini lebih mudah karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan dari olah tapak dengan mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk mengolah tapak tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang fungsional.Sebagai sebuah rakitan maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak, standar objektif, dan homogen. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki tapak dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang seniman. Pekerjaan ini lebih bebas karena ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya batasan-batasan dari program yang telah ditetapkan. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang ekspresif.Sebagai sebuah hasil ekspresi seni maka desain ini memiliki ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan khas atau unik. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki program dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih idealis karena ia dapat mengolah program yang telah ditetapkan dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang eksperimental bahkan terkadang utopis sehingga hanya ada di dalam angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan secara nyata.Sebagai sebuah hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka desain ini memiliki ciri-ciri sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang memiliki ketiga materi yaitu tapak, program dan ide berarti seorang desainer hendaknya mampu menjembatani tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman dan pemimpi menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan yang lain. Jadi hasil kerja desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap memperhatikan ekspresi dan juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka peluang bagi pengembangan lebih lanjut.Dengan demikian maka karya seorang desainer bukan karya yang statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif sepenuhnya melainkan tetap bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan karya yang mengawang-awang melainkan realistis dan dapat diwujudkan.

METODE PENDEKATAN DESAIN
Langkah keempat yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang metode pendekatan desain. Ada banyak metode-metode pendekatan desain yang dapat dipakai dalam proses perancangan interior, meliputi metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis, programatik, ideologis, dan substansif. Metode-metode pendekatan tersebut diperlukan untuk mewujudkan ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep menjadi sebuah desain.Jadi metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan konsep itu sendiri melainkan merupakan “katalisator” konsep.
Gambar 3.  Metode Pendekatan Desain

Uraian macam-macam metode pendekatan desain ini merupakan pengembangan dari metode-metode yang dikemukakan oleh Broadbent (1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode pendekatan pragmatis maka olah desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil desain bersifat eksploratif dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui setelah melalui proses evaluasi berkala. Apabila hasil desain tidak mampu memecahkan masalah secara tepat maka akan dicoba lagi dengan alternatif pengolahan yang lain, demikian seterusnya hingga sampai pada batas tertentu hasil olah desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan tipologis maka olah desain dilakukan dengan cara mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap berhasil. Hasil desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan model yang dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis maka olah desain dilakukan dengan cara membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam atau lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter desain dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan sintaktis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah aturan-aturan geometris. Hasil desain bersifat material terstruktur dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan programatis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan program. Hasil desain bersifat material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah ditetapkan.
Melalui metode pendekatan ideologis maka olah desain didasarkan pada cita-cita yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham tertentu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat ideal menurut faham yang dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui kesesuaian dengan wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan substansif maka olah desain didasarkan pada hakikat atas apa yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang mendasar atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui prinsip-prinsip kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan melalui penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di atas maka penggunaan metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan sintaktis biasanya mampu menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit.Sementara itu penggunaan metode pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat menghasilkan desain yang aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur kadang lebih bersifat abstrak.Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian dari metode analitis yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).

PERUMUSAN KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep desain maka pengertian tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus dipahami.Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep diartikan sebagai berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan” (http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat yang telah dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami menuju pada perumusan konsep desain.Empat langkah tersebut berguna untuk memetakan atau menetapkan jenis dan arah perancangan. Dengan memahami komponen pemahaman desain maka sebuah objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut pandang yang tepat apakah masuk dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional, ataukah ruang komersial. Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik yang berbeda yang akan menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan metode analitis maka sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati, ditemukan, dan diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam proses perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan dijalankan tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan kerja yang sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola pikir desain maka desainer dapat menyadari posisinya terhadap objek perancangan, sehingga ia dapat memandang objek perancangan tersebut secara menyeluruh meliputi semua unsur yang ada baik itu tapak, program, maupun ide. Dari sini seorang desainer dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi yang harus dijalankan, dan bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi yang masing-masing hanya menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
Dengan memahami metode pendekatan desain maka sebuah objek perancangan dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan metode pendekatan tertentu.Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka semakin fokus pula metode pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode pendekatan yang tepat akan sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan telah ditelusuri dengan menggunakan empat langkah tersebut maka objek perancangan tersebut telah terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang pemahaman.Dengan demikian maka objek perancangan yang tadinya rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga permasalahan-permasalahan dapat dipilah-pilah bagian per bagian secara sistematis dan terstruktur. Dengan adanya pemilahan permasalahan ini maka perumusan konsep (sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi) dapat dilakukan dengan lebih mudah. Perumusan konsep yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mencakup banyak unsur akan dapat menciptakan konsep yang tepat sehingga dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh[9].

SIMPULAN
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat disederhanakan dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.










 


Proses perancangan interior bertujuan untuk memecahkan masalah yang kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap ruang. Untuk dapat memecahkan masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep perancangan yang tepat. Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara memahami beberapa hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri dengan perumusan konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah permasalahan desain yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi yang jelas dan sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang tepat dapat dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.

LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian dalam dari sebuah bangunan.Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior berkaitan dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan kondisi ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot, utilitas seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk mengalirkan udara alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal dan elektrikal seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik berkaitan dengan faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya yang membentuk persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu.
Permasalahan yang kompleks tersebut perlu diperhitungkan dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior yang memberikan penyelesaian masalah secara integral. Dengan menggunakan metolodogi desain yang sistematis (systematic design method) maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah. Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian ide-ide awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering disebut sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain itulah sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan desain dapat simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain. Oleh karena itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus mulai merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain dalam perancangan interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian maka diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Tulisan  ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses perancangan desain interior yang menggunakan metodologi transparan agar permasalahan yang kompleks dapat diuraikan secara sistematis, dan formulasi pemecahan masalah berupa konsep perancangan dapat disusun untuk mengikat hasil rancangan menjadi satu solusi yang integral.

KOMPONEN PEMAHAMAN DESAIN
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang hakekat desain yang secara umum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis, dan (3) desain sebagai perwujudan nilai ekonomis. Tiga komponen ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan (1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain.Disini desain merupakan sarana untuk menginterpretasikan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan sesuatu nilai budaya tertentu.Dengan demikian maka desain dikonsentrasikan pada olah bentuk, komposisi dan kombinasi dari bahan, proporsi, tekstur, warna, dan unsur-unsur detail lainnya.Jadi, dalam konteks ini desain dipahami sebagai seni.Untuk mampu memahami desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya maka diperlukan suatu pengalaman mental tertentu.Jadi  seseorang perlu masuk ke dalam konteks pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya) maupun disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan pada masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar lingkungan kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota masyarakat tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui kehidupan sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada desain benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang yang bukan anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu menyusun pengalaman mental tersebut.Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai simbolik dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan religius, museum, city hall, perpustakaan, dan lain-lain.Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional.Disini desain merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari.Pemahaman ini muncul sejak adanya revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu teknik (engineering).Desain dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah dengan pendekatan-pendekatan empirik untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara objektif dan hasil temuannya dapat digeneralisasikan.Hasil atau wujud konkrit dari pemahaman desain sebagai pemecahan masalah teknis adalah desain-desain modern yang mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya desain menjadi bersifat mekanis dan rakitan.Hal ini dapat dilihat contohnya seperti penggunaan bahan-bahan industrial yang standar, homogen dan dapat dirakit secara cepat dan mudah serta hasilnya kuat atau optimum secara teknis.Wujud yang tercipta biasanya bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan bahan, konstruksi, tekstur, pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas.Disini desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.Sama halnya dengan pemahaman yang kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya konsumsi masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh suatu nilai baru yaitu pencitraan (image projection).Pencitraan diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya konsumsi masa. Dari pencitraan inilah muncul apa yang disebut sebagai trend. Trend dalam dunia desain dapat diartikan sebagai kecenderungan dalam mengikuti dan menggunakan model desain tertentu dalam kurun waktu yang sementara.Trend ini selalu diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas model desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai ekonomis dapat dipahami melalui pencitraan.Pencitraan ini selalu dikaitkan dengan produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan ruang-ruang komersial (commercial space) seperti perwujudan citra merek dagang (brand image) pada penataan interior outlet pertokoan, waralaba (frenchise), dan sebagainya.

SKEMA PERANCANGAN METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam perancangan. Karena perancangan interior pada umumnya memiliki kompleksitas permasalahan yang relatif tinggi, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode analitis (analitical method). Hal ini mengacu pada metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa yang dinamakan “berpikir sebelum menggambar” (“thinking before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar yang didalamnya dapat dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih spesifik yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode analitis ini hasil rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan sebelumnya. Proses tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan, literature, tipologi, analisis pemrograman, sintesis, skematik desain, penyusunan konsep dan pewujudan desain.

Gambar 1: Skema perancangan metode analitis

Untuk memunculkan sebuah kebutuhan perancangan maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan. Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki kepekaan untuk menemukan kendala-kendala tersebut.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pendataan. Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu kondisi objek yang akan dirancang meliputi data fisik  ( unsur pembentuk dan pengisi ruang, ukuran-ukuran, material, kondisi udara, suara, cahaya dan lain-lain) dan data non fisik (lingkungan sosial, ekonomi, budaya, psikologis dan lain-lain). Data lainnya adalah data literatur.Data literatur sangat penting untuk dijadikan tolok ukur perancangan.Data literatur disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya untuk menilai hasil pendataan fisik dan non fisik.Data literatur dapat disusun secara tekstual maupun tidak.Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan formalistik maka tidak perlu dicantumkan dalam pendataan, karena mudah dimengerti secara umum. Literatur yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan utama perancangan penting untuk dicantumkan secara mendetail dalam proses pendataan. Jenis data ketiga adalah data tipologi, yaitu berupa data lapangan yang diambil dari lokasi berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan data lapangan yang menjadi objek perancangan. Data tipologi ini berfungsi sebagai pembanding atas data lapangan.Disamping itu data tipologi juga dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk membantu kasus-kasus perancangan yang sulit dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis.Tahap ini merupakan tahap pemrograman, yaitu membuat program-program kebutuhan desain berdasarkan hasil-hasil analisis. Semakin data yang dihimpun lengkap maka hasil analisis pun dapat semakin tuntas sehingga program-program kebutuhan yang dimunculkan akan dapat menjadi acuan yang dapat dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan dasar dalam menarik sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat dipecah menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah perancangan atau skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep desain yang dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep dasar desain ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah produk desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga perlu dievaluasi berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis pemrograman melalui sebuah proses umpan balik (feed back)

PEMETAAN POLA PIKIR DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang skema perancangan merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena itu, langkah ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir desain, yaitu posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap objek yang dirancang. Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki tiga materi yaitu tapak (site), program dan ide.



Gambar 2: Pemetaan pola pikir desain

Apabila seseorang hanya memiliki tapak dan program maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit. Pekerjaan ini lebih mudah karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan dari olah tapak dengan mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk mengolah tapak tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang fungsional.Sebagai sebuah rakitan maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak, standar objektif, dan homogen. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki tapak dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang seniman. Pekerjaan ini lebih bebas karena ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya batasan-batasan dari program yang telah ditetapkan. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang ekspresif.Sebagai sebuah hasil ekspresi seni maka desain ini memiliki ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan khas atau unik. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki program dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih idealis karena ia dapat mengolah program yang telah ditetapkan dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang eksperimental bahkan terkadang utopis sehingga hanya ada di dalam angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan secara nyata.Sebagai sebuah hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka desain ini memiliki ciri-ciri sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang memiliki ketiga materi yaitu tapak, program dan ide berarti seorang desainer hendaknya mampu menjembatani tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman dan pemimpi menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan yang lain. Jadi hasil kerja desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap memperhatikan ekspresi dan juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka peluang bagi pengembangan lebih lanjut.Dengan demikian maka karya seorang desainer bukan karya yang statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif sepenuhnya melainkan tetap bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan karya yang mengawang-awang melainkan realistis dan dapat diwujudkan.

METODE PENDEKATAN DESAIN
Langkah keempat yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang metode pendekatan desain. Ada banyak metode-metode pendekatan desain yang dapat dipakai dalam proses perancangan interior, meliputi metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis, programatik, ideologis, dan substansif. Metode-metode pendekatan tersebut diperlukan untuk mewujudkan ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep menjadi sebuah desain.Jadi metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan konsep itu sendiri melainkan merupakan “katalisator” konsep.
Gambar 3.  Metode Pendekatan Desain

Uraian macam-macam metode pendekatan desain ini merupakan pengembangan dari metode-metode yang dikemukakan oleh Broadbent (1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode pendekatan pragmatis maka olah desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil desain bersifat eksploratif dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui setelah melalui proses evaluasi berkala. Apabila hasil desain tidak mampu memecahkan masalah secara tepat maka akan dicoba lagi dengan alternatif pengolahan yang lain, demikian seterusnya hingga sampai pada batas tertentu hasil olah desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan tipologis maka olah desain dilakukan dengan cara mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap berhasil. Hasil desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan model yang dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis maka olah desain dilakukan dengan cara membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam atau lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter desain dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan sintaktis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah aturan-aturan geometris. Hasil desain bersifat material terstruktur dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan programatis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan program. Hasil desain bersifat material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah ditetapkan.
Melalui metode pendekatan ideologis maka olah desain didasarkan pada cita-cita yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham tertentu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat ideal menurut faham yang dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui kesesuaian dengan wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan substansif maka olah desain didasarkan pada hakikat atas apa yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang mendasar atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui prinsip-prinsip kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan melalui penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di atas maka penggunaan metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan sintaktis biasanya mampu menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit.Sementara itu penggunaan metode pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat menghasilkan desain yang aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur kadang lebih bersifat abstrak.Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian dari metode analitis yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).

PERUMUSAN KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep desain maka pengertian tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus dipahami.Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep diartikan sebagai berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan” (http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat yang telah dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami menuju pada perumusan konsep desain.Empat langkah tersebut berguna untuk memetakan atau menetapkan jenis dan arah perancangan. Dengan memahami komponen pemahaman desain maka sebuah objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut pandang yang tepat apakah masuk dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional, ataukah ruang komersial. Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik yang berbeda yang akan menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan metode analitis maka sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati, ditemukan, dan diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam proses perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan dijalankan tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan kerja yang sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola pikir desain maka desainer dapat menyadari posisinya terhadap objek perancangan, sehingga ia dapat memandang objek perancangan tersebut secara menyeluruh meliputi semua unsur yang ada baik itu tapak, program, maupun ide. Dari sini seorang desainer dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi yang harus dijalankan, dan bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi yang masing-masing hanya menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
Dengan memahami metode pendekatan desain maka sebuah objek perancangan dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan metode pendekatan tertentu.Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka semakin fokus pula metode pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode pendekatan yang tepat akan sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan telah ditelusuri dengan menggunakan empat langkah tersebut maka objek perancangan tersebut telah terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang pemahaman.Dengan demikian maka objek perancangan yang tadinya rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga permasalahan-permasalahan dapat dipilah-pilah bagian per bagian secara sistematis dan terstruktur. Dengan adanya pemilahan permasalahan ini maka perumusan konsep (sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi) dapat dilakukan dengan lebih mudah. Perumusan konsep yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mencakup banyak unsur akan dapat menciptakan konsep yang tepat sehingga dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh[9].

SIMPULAN
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat disederhanakan dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.





3.  MEMBUAT TULISAN YANG TERKAIT DENGAN  ISU/ POTENSIAL ALAMI MENJADI MODAL POKOK PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR BERKELANJUTAN
LATAR BELAKANG
Seperti yang kita ketahui, Sumber Daya Alam yang kita miliki adalah terbatas jumlahnya.Dan pembangunan semakin semarak kini baik pembangunan infrastruktur maupun perumahan untuk memenuhi kebutuhan manusia.Selain itu, semaraknya Global Warming semakin terasa kini cuaca tak menentu dan tidak dapat dipastikan.Bangunan merupakan penyaring faktor alamiah penyebab ketidaknyamanan, seperti hujan, terik matahari, angin kencang, dan udara panas tropis, agar tidak masuk ke dalam bangunan.Udara luar yang panas dimodifikasi bangunan dengan bantuan AC menjadi udara dingin.Dalam hal ini dibutuhkan energi listrik untuk menggerakkan mesin AC. Demikian juga halnya bagi penerangan malam hari atau ketika langit mendung, diperlukan energi listrik untuk lampu penerang.
PEMBAHASAN
Penghematan energi melalui rancangan bangunan mengarah pada penghematan penggunaan listrik, baik bagi pendinginan udara, penerangan buatan, maupun peralatan listrik lain. Dengan strategi perancangan tertentu, bangunan dapat memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim ruang yang nyaman tanpa banyak mengonsumsi energi listrik.Kebutuhan energi per kapita dan nasional dapat ditekan jika secara nasional bangunan dirancang dengan konsep hemat energi.Hal inilah yang menuntut seorang arsite untuk membuka jalan untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut dengan inovasi-inovasi terbaru.Para arsitek di Barat memulai langkah merancang bangunan hemat energi sejak krisis energi tahun 1973, sementara hingga kini-30 tahun sejak krisis energi di negara Barat-belum juga muncul pemikiran ke arah itu di kalangan arsitek Indonesia.Karena rancangan arsitek merupakan media yang memberi dampaksecara langsung terhadap lingkungan.Hal inilah yang memunculkan konsep yang berwawasan lingkungan yaitu Eko-Arsitektur yang sebagai bentuk kepedulian.Pola perencanaan Eko-arsitektur suatu bangunan selalu memanfaatkan peredaran alam sebagai berikut.
Perancangan bangunan dapat dilakukan dengan dua cara: secara pasif dan aktif.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERANCANGAN PASIF ?
Perancangan pasif merupakan cara penghematan energi melalui pemanfaatan energi matahari secara pasif, yaitu tanpa mengonversikan energi matahari menjadi energi listrik. Rancangan pasif lebih mengandalkan kemampuan arsitek bagaimana rancangan bangunan dengan sendirinya mampu “mengantisipasi” permasalahan iklim luar.
Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami. Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan komponen cahayanya dan menepis panasnya.
Strategi perancangan bangunan secara pasif di Indonesia bisa dijumpai terutama pada bangunan lama karya Silaban: Masjid Istiqal dan Bank Indonesia; karya Sujudi: Kedutaan Prancis di Jakarta dan Gedung Departemen Pendidikan Nasional Pusat; serta sebagian besar bangunan kolonial karya arsitek-arsitek Belanda. Meskipun demikian, beberapa bangunan modern di Jakarta juga tampak diselesaikan dengan konsep perancangan pasif, seperti halnya Gedung S Widjojo dan Wisma Dharmala Sakti, keduanya terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERANCANGAN AKTIF?
Dalam rancangan aktif, energi matahari dikonversi menjadi energi listrik sel solar, kemudian energi listrik inilah yang digunakan memenuhi kebutuhan bangunan.Dalam perancangan secara aktif, secara simultan arsitek juga harus menerapkan strategi perancangan secara pasif. Tanpa penerapan strategi perancangan pasif, penggunaan energi dalam bangunan akan tetap tinggi apabila tingkat kenyamanan termal dan visual harus dicapai.
Strategi perancangan aktif dalam bangunan dengan sel solar belum dijumpai di Indonesia saat ini.Penggunaan sel solar masih terbatas pada kebutuhan terbatas bagi penerangan di desa-desa terpencil Indonesia.
Salah satu bangunan yang dianggap paling berhasil menerapkan teknik perancangan pasif dan aktif secara simultan dan sangat berhasil dalam mengeksploitasi penggunaan sel solar adalah bangunan paviliun Inggris (British pavillion).Bangunan ini dirancang Nicholas Grimshaw & Partner, arsitek yang juga merancang Waterloo International Railway Station yang menghubungkan Inggris dengan Perancis melalui jalur bawah laut. Paviliun Inggris ini dibangun di kompleks Expo 1992 di kota Seville, Spanyol, sebagai perwujudan hasil sayembara tahun 1989 yang dimenangi arsitek tersebut.
Langkah merancang bangunan hemat energi baik secara pasif maupun aktif seperti di atas perlu dicermati.Sudah waktunya para arsitek Indonesia memulainya.Jika dalam waktu dekat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak neto dan harga BBM dan tarif listrik dalam negeri melambung, sebagian besar bangunan yang boros energi tidak lagi dapat berfungsi. Pemakai bangunan akan menemui kesulitan menanggung biaya listrik untuk lift, AC, pompa, dan peralatan lain, yang tinggi. Masih ada waktu untuk menghindari situasi buruk semacam ini dengan memulai merancang bangunan yang hemat energi, hemat listrik, sejak sekarang.