1 . MEMBUAT TULISAN DI BLOG DENGAN TEMA BANGUNAN
HEMAT ENERGI
Ancaman bahaya
pemanasan global membuat sejumlah pengembang mulai sadar memperhatikan aspek
lingkungan. Itu sebabnya, saat membangun proyek perkantoran, pengembang mulai
menerapkan konsep hijau dan ramah lingkungan.
Sebagai contoh, proyek gedung perkantoran Allianz Tower di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Sebagai pengembang, PT Medialand International menerapkan konsep ramah lingkungan serta hemat energi terhadap gedung berlantai 28. Allianz Tower memakai konsep bangunan Environmental Sustainable Design (ESD). Bentuk bangunan gedungnya pipih di sisi Timur dan Barat karena bisa mengurangi cahaya panas serta sinar matahari langsung. areal seluas 7.000 meter persegi ini, arsitek bakal membuat sistem satu pendopo (basement) dengan ukuran yang minimalis. Sehingga kompleks tersebut menyisakan hingga 70 % areal untuk ruang terbuka hijau. Tujuannya, supaya bisa dipakai sebagai areal resapan air. gedung ini memiliki sistem daur ulang air hujan dan air kotor untuk mengurangi jumlah air yang dibuang ke saluran. Sehingga sekitar 80% dari air kotor yang didaur ulang bisa terpakai kembali. Misalnya untuk menyiram tanaman, sebagai air pembersih toilet, serta sebagai bahan baku pendingin ruang kerja berkat sistem water cooler air condition. Grup Ciputra juga memasukkan konsep serupa di proyek Ciputra Multivision Tower di Kuningan, gedung ini menggunakan sistem double glassing. Artinya, sinar matahari bisa bebas masuk ruangan, tapi ruangan tetap bisa dingin. Perkantoran itu juga menerapkan sistem daur ulang air limbah serta menanam pepohonan. Sedangkan PT Bakrieland Development sudah terlebih dulu menggunakan konsep hijau saat mendirikan Bakrie Tower. Misalnya, konsep bangunan tipe belah ketupat. Jarak antar gedung tidak berjauhan. Tujuannya, agar tidak terkena panas langsung dan ruang di bawah tetap sejuk. Konsep gedung hijau ini ternyata butuh pengorbanan. Konsep ini butuh tambahan anggaran investasi antara 20%-30%. |
Pembangunan bangunan hemat energi dan ramah lingkungan
harus murah, mudah, dan berdampak luas. Pengembangan kota hijau (green city),
properti hijau (green property), bangunan hijau (green building),
kantor/sekolah hijau (green school/office), hingga pemakaian produk hijau
(green product) terus dilakukan untuk turut mengurangi pemanasan global dan
krisis ekonomi global.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mendorong pembangunan bangunan berarsitektur lokal terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal.Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi bahan, dan material ramah lingkungan (green product).
Bangunan hijau mensyaratkan lay out desain bangunan (10 %), konsumsi dan pengelolaan air bersih (10 %), pemenuhan energi listrik (30%), bahan bangunan (15 %), kualitas udara dalam (20 %), dan terobosan inovasi (teknologi, operasional) sebesar 15 %.
PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mendorong pembangunan bangunan berarsitektur lokal terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal.Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi bahan, dan material ramah lingkungan (green product).
Bangunan hijau mensyaratkan lay out desain bangunan (10 %), konsumsi dan pengelolaan air bersih (10 %), pemenuhan energi listrik (30%), bahan bangunan (15 %), kualitas udara dalam (20 %), dan terobosan inovasi (teknologi, operasional) sebesar 15 %.
PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE :
1. Hemat energi /
Conserving energy : Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan
bakar atau energi listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar
lokasi bangunan ).
2. Memperhatikan kondisi
iklim / Working with climate : Mendisain bagunan harus berdasarkan iklim yang
berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada.
3. Minimizing new
resources : mendisain dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang
baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa
mendatang.
4. Penggunaan material
bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam.
5. Tidak berdampak
negative bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut / Respect for
site : Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi
tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak
aslinya masih ada dan tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada )
6. Merespon keadaan tapak
dari bangunan / Respect for user : Dalam merancang bangunan harus memperhatikan
semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya.
7. Menetapkan seluruh
prinsip – prinsip green architecture secara keseluruhan / Holism : Ketentuan
diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan
kita.
Pemanfaatan energi alternatif
Ada beberapa beberapa
hal yang bisa dilakukan agar sebuah kantor atau gedung hemat energi. Antara
lain sudah diaplikasikan pada Gedung Annex lantai 5 Kantor Ditjen
Ketenagalistrikan yang menjadi gedung kantor EECHI. Fitur-fitur pada kantor
hemat energi haruslah meliputi seluruh rancangan, material, desain interior,
sistem operasional dan teknologi yang digunakan adalah yang hemat energi.
Ada beberapa fitur khusus dari kantor ini yang membuatnya hemat energi yaitu,
Ada beberapa fitur khusus dari kantor ini yang membuatnya hemat energi yaitu,
1. penggunaan langit-langit yang lebih tinggi serta
pengorganisasian ruangan dan partisi guna memaksimalkan cahaya alami dan
distribusi AC yang lebih baik.
2. penggunaan AC dengan Variable Refrigerant Volume (VRV)
multi split system yang bisa menghemat energi hingga 30-40% dibandingkan AC
biasa.
3. pengendalian udara segar melalui pengukuran jumlah air
kondensat yang keluar dari unit AC serta pengukuran kandungan CO2 yang dapat
membantu untuk mendeteksi kebocoran.
4. penggunaan lampu jenis T5 yang hemat energi dengan
pengontrol cahaya dan sensor okupansi.
5. penggunaan reflektor cahaya pada dinding horisontal
luar jendela untuk menahan panas.
6. penggunaan material-material yang ramah lingkungan
seperti bahan lantai yang terbuat dari bambu dan cat rendah VOC.
Dalam pelaksanaan
gedung hemat energi dilakukan retrofitting atau upgrade terlebih
dahulu. Kondisi Kantor EECCHI misalnya, sebelum retrofitting mempunyai Indeks
Konsumsi Energi sebesar 170 kWh/m2/tahun.
Selain itu, suhu ruangan dan RH lebih tinggi dari nilai yang direkomendasikan terutama setelah AC sentral dimatikan pada jam 15:00, suhu ruangan tinggi pada saat jam kantor, umumnya di atas 26°C dan tingkat kelembaban tinggi pada jam kantor, umumnya antara 60-70%.
Kadar CO2 yang tinggi di dalam ruangan mengindikasikan bahwa terlalu banyak udara segar di ruangan akibat tingginya tingkat kebocoran udara melalui pintu, jendela dan celah partisi (infiltrasi udara luar). Tingkat kebisingan dalam ruangan juga diperhitungkan dengan rata-rata 70 dBA, yaitu jauh di atas ambang batas standar Internasional untuk perkantoran.
Karenanya harus dilakukan perbaikan dan inovasi pada ruaangan. Antara lain dengan desain interior yang memaksimalkan penggunaan energi dan kenyamanan dipadu dengan teknologi.
Selain itu, suhu ruangan dan RH lebih tinggi dari nilai yang direkomendasikan terutama setelah AC sentral dimatikan pada jam 15:00, suhu ruangan tinggi pada saat jam kantor, umumnya di atas 26°C dan tingkat kelembaban tinggi pada jam kantor, umumnya antara 60-70%.
Kadar CO2 yang tinggi di dalam ruangan mengindikasikan bahwa terlalu banyak udara segar di ruangan akibat tingginya tingkat kebocoran udara melalui pintu, jendela dan celah partisi (infiltrasi udara luar). Tingkat kebisingan dalam ruangan juga diperhitungkan dengan rata-rata 70 dBA, yaitu jauh di atas ambang batas standar Internasional untuk perkantoran.
Karenanya harus dilakukan perbaikan dan inovasi pada ruaangan. Antara lain dengan desain interior yang memaksimalkan penggunaan energi dan kenyamanan dipadu dengan teknologi.
Contoh Bangunan Hemat
Energi
Academy (BCA) telah memberi contoh bagaimana
sebuah bangunan bisa disebut hijau (green). BCA membangun kembali gedungnya
yang disebut BCA Academy hingga menjadi sebuah kompleks bangunan yang disebut
zero energy building (ZEP) atau bangunan nol energi.
Disebut nol energi karena bangunan yang dirancang oleh DP
Architect itu memproduksi energi untuk keperluan sehari-hari dengan menggunakan
panel tenaga matahari.BCA Academy juga memanfaatkan kekayaan alam semaksimal
mungkin.
Selain menggunakan tenaga matahari sebagai sumber energi, mereka
juga menampung air hujan untuk digunakan sebagai toilet.Hampir tidak ada sisi
gedung yang tidak terkena sinar matahari sehingga menghemat penggunaan listrik
untuk penerangan, terutama di siang hari.
Dibandingkan dengan gedung-gedung dengan kapasitas serupa,
penggunaan energi di BCA Academy jauh lebih hemat. Berdasarkan tarif listrik
21,69 sen per kwh, bangunan ini berhasil menghemat pengeluaran hingga 84.000
dollar Singapura per tahun.
Sejumlah fitur menarik dari bangunan seluas 4.500 meter persegi
itu antara lain sistem peneduh yang ditempatkan secara strategis sehingga
bangunan terlindung dari terik matahari, namun interior bangunan tetap mendapat
cahaya alami.
Di negara tropis, penggunaan energi listrik terbesar adalah
untuk air conditioner. Para arsitek BCA menyiasati tingginya
temperatur dengan tanaman rambat yang ditanam secara vertikal.Ada dua manfaat sekaligus
dengan sistem ini, yaitu dinding terlindung dari paparan langsung sinar
matahari sekaligus untuk menurunkan temperatur dalam ruangan.
Proses perancangan interior bertujuan untuk
memecahkan masalah yang kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap
ruang. Untuk dapat memecahkan masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep
perancangan yang tepat. Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada
pendekatan yang dilakukan dalam proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara
memahami beberapa hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan
analitis, pemetaan pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri
dengan perumusan konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah
permasalahan desain yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi
yang jelas dan sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang
tepat dapat dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan
mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara
utuh.
LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya
merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian
dalam dari sebuah bangunan.Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior
berkaitan dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan
kondisi ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot,
utilitas seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk
mengalirkan udara alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal
dan elektrikal seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik
berkaitan dengan faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya
yang membentuk persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu[1].
Permasalahan yang kompleks
tersebut perlu diperhitungkan dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior
yang memberikan penyelesaian masalah secara integral. Dengan menggunakan
metolodogi desain yang sistematis (systematic
design method)[2]
maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan
mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk
kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah.
Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk
menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan
dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal
yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan
ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian
ide-ide awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering
disebut sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain
itulah sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan
desain dapat simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain.
Oleh karena itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus
mulai merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain
dalam perancangan interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh
permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam
satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke
dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian maka diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan
menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses perancangan
desain interior yang menggunakan metodologi transparan agar permasalahan yang
kompleks dapat diuraikan secara sistematis, dan formulasi pemecahan masalah
berupa konsep perancangan dapat disusun untuk mengikat hasil rancangan menjadi
satu solusi yang integral.
KOMPONEN PEMAHAMAN DESAIN
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual
dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang hakekat desain yang
secara umum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis,
dan (3) desain sebagai perwujudan
nilai ekonomis. Tiga komponen
ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan
(1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan
buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik
dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup,
kepercayaan, mitos, dan lain-lain.Disini desain merupakan sarana untuk
menginterpretasikan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan
lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan
sesuatu nilai budaya tertentu.Dengan demikian maka desain dikonsentrasikan pada
olah bentuk, komposisi dan kombinasi dari bahan, proporsi, tekstur, warna, dan
unsur-unsur detail lainnya.Jadi, dalam konteks ini desain dipahami sebagai
seni.Untuk mampu memahami desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya
maka diperlukan suatu pengalaman mental tertentu.Jadi seseorang perlu masuk ke dalam konteks
pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya) maupun
disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan pada
masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar lingkungan
kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan nilai-nilai,
pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota masyarakat
tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui kehidupan
sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada desain
benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang yang bukan
anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu menyusun
pengalaman mental tersebut.Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai simbolik
dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan
religius, museum, city hall,
perpustakaan, dan lain-lain.Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain
tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional.Disini desain merupakan
sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari.Pemahaman ini muncul sejak adanya
revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang
sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu teknik (engineering).Desain dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah
dengan pendekatan-pendekatan empirik untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara objektif dan
hasil temuannya dapat digeneralisasikan.Hasil atau wujud konkrit dari pemahaman
desain sebagai pemecahan masalah teknis adalah desain-desain modern yang
mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya desain menjadi bersifat mekanis dan
rakitan.Hal ini dapat dilihat contohnya seperti penggunaan bahan-bahan
industrial yang standar, homogen dan dapat dirakit secara cepat dan mudah serta
hasilnya kuat atau optimum secara teknis.Wujud yang tercipta biasanya
bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan bahan, konstruksi, tekstur,
pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas.Disini
desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya
dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.Sama halnya dengan pemahaman yang
kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak
adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi
industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya konsumsi
masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern
life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh suatu nilai baru
yaitu pencitraan (image projection).Pencitraan
diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya konsumsi masa. Dari pencitraan
inilah muncul apa yang disebut sebagai trend.
Trend dalam dunia desain dapat
diartikan sebagai kecenderungan dalam mengikuti dan menggunakan model desain
tertentu dalam kurun waktu yang sementara.Trend
ini selalu diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas
model desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai
ekonomis dapat dipahami melalui pencitraan.Pencitraan ini selalu dikaitkan
dengan produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan
ruang-ruang komersial (commercial space)
seperti perwujudan citra merek dagang (brand
image) pada penataan interior outlet
pertokoan, waralaba (frenchise), dan
sebagainya.
SKEMA PERANCANGAN METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan
untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah
memahami tentang skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam
perancangan. Karena perancangan interior pada umumnya memiliki kompleksitas
permasalahan yang relatif tinggi, maka metode yang paling banyak digunakan
adalah metode analitis (analitical method).
Hal ini mengacu pada metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa
yang dinamakan “berpikir sebelum menggambar” (“thinking before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar
yang didalamnya dapat dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih
spesifik yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode
analitis ini hasil rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan
sebelumnya. Proses tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan,
literature, tipologi, analisis pemrograman, sintesis, skematik desain,
penyusunan konsep dan pewujudan desain.
Gambar 1: Skema
perancangan metode analitis
Untuk memunculkan sebuah kebutuhan
perancangan maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan[4].
Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai
penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu
ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat
diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan
permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai
orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki
kepekaan untuk menemukan kendala-kendala tersebut[5].
Langkah selanjutnya adalah
melakukan pendataan. Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu
kondisi objek yang akan dirancang meliputi data fisik ( unsur pembentuk dan pengisi ruang,
ukuran-ukuran, material, kondisi udara, suara, cahaya dan lain-lain) dan data
non fisik (lingkungan sosial, ekonomi, budaya, psikologis dan lain-lain). Data
lainnya adalah data literatur.Data literatur sangat penting untuk dijadikan
tolok ukur perancangan.Data literatur disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya
untuk menilai hasil pendataan fisik dan non fisik.Data literatur dapat disusun
secara tekstual maupun tidak.Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan
formalistik maka tidak perlu dicantumkan dalam pendataan, karena mudah
dimengerti secara umum. Literatur yang spesifik yang berkaitan dengan
permasalahan utama perancangan penting untuk dicantumkan secara mendetail dalam
proses pendataan. Jenis data ketiga adalah data tipologi, yaitu berupa data
lapangan yang diambil dari lokasi berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan
data lapangan yang menjadi objek perancangan. Data tipologi ini berfungsi
sebagai pembanding atas data lapangan.Disamping itu data tipologi juga dapat
digunakan sebagai tolok ukur untuk membantu kasus-kasus perancangan yang sulit
dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap
maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis.Tahap ini merupakan tahap
pemrograman, yaitu membuat program-program kebutuhan desain berdasarkan
hasil-hasil analisis. Semakin data yang dihimpun lengkap maka hasil analisis
pun dapat semakin tuntas sehingga program-program kebutuhan yang dimunculkan
akan dapat menjadi acuan yang dapat dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan
dasar dalam menarik sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan
alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat dipecah
menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah perancangan atau
skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep desain yang
dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep dasar desain
ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah produk
desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga perlu dievaluasi
berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis pemrograman melalui
sebuah proses umpan balik (feed back).[6]
PEMETAAN POLA PIKIR DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang
skema perancangan merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena
itu, langkah ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual
dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir
desain, yaitu posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap
objek yang dirancang[7].
Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki
tiga materi yaitu tapak (site),
program dan ide[8].
Gambar 2: Pemetaan
pola pikir desain
Apabila seseorang hanya memiliki
tapak dan program maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit.
Pekerjaan ini lebih mudah karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan
dari olah tapak dengan mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk
mengolah tapak tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang
fungsional.Sebagai sebuah rakitan maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak,
standar objektif, dan homogen. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki
tapak dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang seniman.
Pekerjaan ini lebih bebas karena ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya
sendiri tanpa adanya batasan-batasan dari program yang telah ditetapkan. Hasil
dari pekerjaan ini adalah desain yang ekspresif.Sebagai sebuah hasil ekspresi
seni maka desain ini memiliki ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan
khas atau unik. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki program dan ide
maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih
idealis karena ia dapat mengolah program yang telah ditetapkan dengan
ide-idenya sendiri tanpa adanya tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil
dari pekerjaan ini adalah desain yang eksperimental bahkan terkadang utopis
sehingga hanya ada di dalam angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan
secara nyata.Sebagai sebuah hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka
desain ini memiliki ciri-ciri sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang
memiliki ketiga materi yaitu tapak, program dan ide berarti seorang desainer
hendaknya mampu menjembatani tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman
dan pemimpi menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan
yang lain. Jadi hasil kerja desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap
memperhatikan ekspresi dan juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka
peluang bagi pengembangan lebih lanjut.Dengan demikian maka karya seorang
desainer bukan karya yang statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif
sepenuhnya melainkan tetap bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan
karya yang mengawang-awang melainkan realistis dan dapat diwujudkan.
METODE PENDEKATAN DESAIN
Langkah keempat yang perlu
dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan
interior adalah memahami tentang metode pendekatan desain. Ada banyak
metode-metode pendekatan desain yang dapat dipakai dalam proses perancangan
interior, meliputi metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis,
programatik, ideologis, dan substansif. Metode-metode pendekatan tersebut
diperlukan untuk mewujudkan ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep
menjadi sebuah desain.Jadi metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan
konsep itu sendiri melainkan merupakan “katalisator” konsep.
Gambar 3. Metode Pendekatan Desain
Uraian macam-macam metode
pendekatan desain ini merupakan pengembangan dari metode-metode yang
dikemukakan oleh Broadbent (1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode
pendekatan pragmatis maka olah desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil
desain bersifat eksploratif dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui
setelah melalui proses evaluasi berkala. Apabila hasil desain tidak mampu
memecahkan masalah secara tepat maka akan dicoba lagi dengan alternatif
pengolahan yang lain, demikian seterusnya hingga sampai pada batas tertentu
hasil olah desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan
tipologis maka olah desain dilakukan
dengan cara mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap
berhasil. Hasil desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan
masalah akan diketahui bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi
dengan model yang dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis
maka olah desain dilakukan dengan
cara membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam
atau lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan
ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter
desain dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan
sintaktis maka olah desain
didasarkan pada seperangkat aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah
aturan-aturan geometris. Hasil desain bersifat material terstruktur dan
ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain
dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan programatis maka olah desain didasarkan
pada seperangkat aturan program.
Hasil desain bersifat material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan
diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah
ditetapkan.
Melalui metode pendekatan
ideologis maka olah desain
didasarkan pada cita-cita yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham
tertentu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat
ideal menurut faham yang dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui
kesesuaian dengan wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai
dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan
substansif maka olah desain
didasarkan pada hakikat atas
apa yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang
mendasar atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui
prinsip-prinsip kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan
melalui penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di
atas maka penggunaan metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan
sintaktis biasanya mampu menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata
karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit.Sementara
itu penggunaan metode pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat
menghasilkan desain yang aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur
kadang lebih bersifat abstrak.Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian
dari metode analitis yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).
PERUMUSAN
KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep
desain maka pengertian tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus
dipahami.Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan
dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang
universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian
atau hubungan” (http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka
konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur
yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu
kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data
guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat
yang telah dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami
menuju pada perumusan konsep desain.Empat langkah tersebut berguna untuk
memetakan atau menetapkan jenis dan arah perancangan. Dengan memahami komponen
pemahaman desain maka sebuah objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut
pandang yang tepat apakah masuk dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional,
ataukah ruang komersial. Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik
yang berbeda yang akan menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang
dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan
metode analitis maka sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati,
ditemukan, dan diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam
proses perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan
dijalankan tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan
kerja yang sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola
pikir desain maka desainer dapat menyadari posisinya terhadap objek
perancangan, sehingga ia dapat memandang objek perancangan tersebut secara
menyeluruh meliputi semua unsur yang ada baik itu tapak, program, maupun ide.
Dari sini seorang desainer dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi
yang harus dijalankan, dan bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi
yang masing-masing hanya menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
Dengan memahami metode pendekatan desain
maka sebuah objek perancangan dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan
metode pendekatan tertentu.Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka
semakin fokus pula metode pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode
pendekatan yang tepat akan sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan
telah ditelusuri dengan menggunakan empat langkah tersebut maka objek
perancangan tersebut telah terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang
pemahaman.Dengan demikian maka objek perancangan yang tadinya rumit dan
kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga permasalahan-permasalahan dapat
dipilah-pilah bagian per bagian secara sistematis dan terstruktur. Dengan
adanya pemilahan permasalahan ini maka perumusan konsep (sebagai sebuah sistem
yang terdiri atas sehimpunan unsur yang
melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan
pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna
menghasilkan informasi) dapat dilakukan dengan lebih mudah. Perumusan konsep
yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mencakup banyak unsur akan
dapat menciptakan konsep yang tepat sehingga dapat mengikat hasil perancangan
menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh[9].
SIMPULAN
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat
disederhanakan dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan
mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola
pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan
konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain
tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke
dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah
desain yang terintegrasi secara utuh.
Proses perancangan interior bertujuan untuk
memecahkan masalah yang kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap
ruang. Untuk dapat memecahkan masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep
perancangan yang tepat. Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada
pendekatan yang dilakukan dalam proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara
memahami beberapa hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan
analitis, pemetaan pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri
dengan perumusan konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah
permasalahan desain yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi
yang jelas dan sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang
tepat dapat dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan
mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara
utuh.
LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya
merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian
dalam dari sebuah bangunan.Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior
berkaitan dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan
kondisi ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot,
utilitas seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk
mengalirkan udara alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal
dan elektrikal seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik
berkaitan dengan faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya
yang membentuk persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu.
Permasalahan yang kompleks
tersebut perlu diperhitungkan dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior
yang memberikan penyelesaian masalah secara integral. Dengan menggunakan
metolodogi desain yang sistematis (systematic
design method)
maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan
mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk
kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah.
Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk
menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan
dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal
yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan
ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian
ide-ide awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering
disebut sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain
itulah sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan
desain dapat simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain.
Oleh karena itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus
mulai merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain
dalam perancangan interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh
permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam
satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke
dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian maka diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan
menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses perancangan
desain interior yang menggunakan metodologi transparan agar permasalahan yang
kompleks dapat diuraikan secara sistematis, dan formulasi pemecahan masalah
berupa konsep perancangan dapat disusun untuk mengikat hasil rancangan menjadi
satu solusi yang integral.
KOMPONEN PEMAHAMAN DESAIN
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual
dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang hakekat desain yang
secara umum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis,
dan (3) desain sebagai perwujudan
nilai ekonomis. Tiga komponen
ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan
(1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan
buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik
dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup,
kepercayaan, mitos, dan lain-lain.Disini desain merupakan sarana untuk
menginterpretasikan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan
lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan
sesuatu nilai budaya tertentu.Dengan demikian maka desain dikonsentrasikan pada
olah bentuk, komposisi dan kombinasi dari bahan, proporsi, tekstur, warna, dan
unsur-unsur detail lainnya.Jadi, dalam konteks ini desain dipahami sebagai
seni.Untuk mampu memahami desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya
maka diperlukan suatu pengalaman mental tertentu.Jadi seseorang perlu masuk ke dalam konteks
pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya) maupun
disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan pada
masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar lingkungan
kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan nilai-nilai,
pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota masyarakat
tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui kehidupan
sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada desain
benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang yang bukan
anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu menyusun
pengalaman mental tersebut.Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai simbolik
dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan
religius, museum, city hall,
perpustakaan, dan lain-lain.Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain
tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional.Disini desain merupakan
sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari.Pemahaman ini muncul sejak adanya
revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang
sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu teknik (engineering).Desain dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah
dengan pendekatan-pendekatan empirik untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara objektif dan
hasil temuannya dapat digeneralisasikan.Hasil atau wujud konkrit dari pemahaman
desain sebagai pemecahan masalah teknis adalah desain-desain modern yang
mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya desain menjadi bersifat mekanis dan
rakitan.Hal ini dapat dilihat contohnya seperti penggunaan bahan-bahan
industrial yang standar, homogen dan dapat dirakit secara cepat dan mudah serta
hasilnya kuat atau optimum secara teknis.Wujud yang tercipta biasanya
bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan bahan, konstruksi, tekstur,
pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas.Disini
desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya
dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.Sama halnya dengan pemahaman yang
kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak
adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi
industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya konsumsi
masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern
life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh suatu nilai baru
yaitu pencitraan (image projection).Pencitraan
diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya konsumsi masa. Dari pencitraan
inilah muncul apa yang disebut sebagai trend.
Trend dalam dunia desain dapat
diartikan sebagai kecenderungan dalam mengikuti dan menggunakan model desain
tertentu dalam kurun waktu yang sementara.Trend
ini selalu diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas
model desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai
ekonomis dapat dipahami melalui pencitraan.Pencitraan ini selalu dikaitkan
dengan produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan
ruang-ruang komersial (commercial space)
seperti perwujudan citra merek dagang (brand
image) pada penataan interior outlet
pertokoan, waralaba (frenchise), dan
sebagainya.
SKEMA PERANCANGAN METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan
untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah
memahami tentang skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam
perancangan. Karena perancangan interior pada umumnya memiliki kompleksitas
permasalahan yang relatif tinggi, maka metode yang paling banyak digunakan
adalah metode analitis (analitical method).
Hal ini mengacu pada metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa
yang dinamakan “berpikir sebelum menggambar” (“thinking before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar
yang didalamnya dapat dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih
spesifik yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode
analitis ini hasil rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan
sebelumnya. Proses tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan,
literature, tipologi, analisis pemrograman, sintesis, skematik desain,
penyusunan konsep dan pewujudan desain.
Gambar 1: Skema
perancangan metode analitis
Untuk memunculkan sebuah kebutuhan
perancangan maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan.
Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai
penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu
ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat
diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan
permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai
orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki
kepekaan untuk menemukan kendala-kendala tersebut.
Langkah selanjutnya adalah
melakukan pendataan. Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu
kondisi objek yang akan dirancang meliputi data fisik ( unsur pembentuk dan pengisi ruang,
ukuran-ukuran, material, kondisi udara, suara, cahaya dan lain-lain) dan data
non fisik (lingkungan sosial, ekonomi, budaya, psikologis dan lain-lain). Data
lainnya adalah data literatur.Data literatur sangat penting untuk dijadikan
tolok ukur perancangan.Data literatur disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya
untuk menilai hasil pendataan fisik dan non fisik.Data literatur dapat disusun
secara tekstual maupun tidak.Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan
formalistik maka tidak perlu dicantumkan dalam pendataan, karena mudah
dimengerti secara umum. Literatur yang spesifik yang berkaitan dengan
permasalahan utama perancangan penting untuk dicantumkan secara mendetail dalam
proses pendataan. Jenis data ketiga adalah data tipologi, yaitu berupa data
lapangan yang diambil dari lokasi berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan
data lapangan yang menjadi objek perancangan. Data tipologi ini berfungsi
sebagai pembanding atas data lapangan.Disamping itu data tipologi juga dapat
digunakan sebagai tolok ukur untuk membantu kasus-kasus perancangan yang sulit
dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap
maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis.Tahap ini merupakan tahap
pemrograman, yaitu membuat program-program kebutuhan desain berdasarkan
hasil-hasil analisis. Semakin data yang dihimpun lengkap maka hasil analisis
pun dapat semakin tuntas sehingga program-program kebutuhan yang dimunculkan
akan dapat menjadi acuan yang dapat dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan
dasar dalam menarik sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan
alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat dipecah
menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah perancangan atau
skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep desain yang
dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep dasar desain
ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah produk
desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga perlu dievaluasi
berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis pemrograman melalui
sebuah proses umpan balik (feed back)
PEMETAAN POLA PIKIR DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang
skema perancangan merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena
itu, langkah ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual
dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir
desain, yaitu posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap
objek yang dirancang.
Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki
tiga materi yaitu tapak (site),
program dan ide.
Gambar 2: Pemetaan
pola pikir desain
Apabila seseorang hanya memiliki
tapak dan program maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit.
Pekerjaan ini lebih mudah karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan
dari olah tapak dengan mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk
mengolah tapak tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang
fungsional.Sebagai sebuah rakitan maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak,
standar objektif, dan homogen. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki
tapak dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang seniman.
Pekerjaan ini lebih bebas karena ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya
sendiri tanpa adanya batasan-batasan dari program yang telah ditetapkan. Hasil
dari pekerjaan ini adalah desain yang ekspresif.Sebagai sebuah hasil ekspresi
seni maka desain ini memiliki ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan
khas atau unik. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki program dan ide
maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih
idealis karena ia dapat mengolah program yang telah ditetapkan dengan
ide-idenya sendiri tanpa adanya tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil
dari pekerjaan ini adalah desain yang eksperimental bahkan terkadang utopis
sehingga hanya ada di dalam angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan
secara nyata.Sebagai sebuah hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka
desain ini memiliki ciri-ciri sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang
memiliki ketiga materi yaitu tapak, program dan ide berarti seorang desainer
hendaknya mampu menjembatani tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman
dan pemimpi menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan
yang lain. Jadi hasil kerja desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap
memperhatikan ekspresi dan juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka
peluang bagi pengembangan lebih lanjut.Dengan demikian maka karya seorang
desainer bukan karya yang statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif
sepenuhnya melainkan tetap bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan
karya yang mengawang-awang melainkan realistis dan dapat diwujudkan.
METODE PENDEKATAN DESAIN
Langkah keempat yang perlu
dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan
interior adalah memahami tentang metode pendekatan desain. Ada banyak
metode-metode pendekatan desain yang dapat dipakai dalam proses perancangan
interior, meliputi metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis,
programatik, ideologis, dan substansif. Metode-metode pendekatan tersebut
diperlukan untuk mewujudkan ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep
menjadi sebuah desain.Jadi metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan
konsep itu sendiri melainkan merupakan “katalisator” konsep.
Gambar 3. Metode Pendekatan Desain
Uraian macam-macam metode
pendekatan desain ini merupakan pengembangan dari metode-metode yang
dikemukakan oleh Broadbent (1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode
pendekatan pragmatis maka olah desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil
desain bersifat eksploratif dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui
setelah melalui proses evaluasi berkala. Apabila hasil desain tidak mampu
memecahkan masalah secara tepat maka akan dicoba lagi dengan alternatif
pengolahan yang lain, demikian seterusnya hingga sampai pada batas tertentu
hasil olah desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan
tipologis maka olah desain dilakukan
dengan cara mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap
berhasil. Hasil desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan
masalah akan diketahui bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi
dengan model yang dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis
maka olah desain dilakukan dengan
cara membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam
atau lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan
ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter
desain dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan
sintaktis maka olah desain
didasarkan pada seperangkat aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah
aturan-aturan geometris. Hasil desain bersifat material terstruktur dan
ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain
dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan programatis maka olah desain didasarkan
pada seperangkat aturan program.
Hasil desain bersifat material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan
diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah
ditetapkan.
Melalui metode pendekatan
ideologis maka olah desain
didasarkan pada cita-cita yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham
tertentu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat
ideal menurut faham yang dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui
kesesuaian dengan wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai
dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan
substansif maka olah desain
didasarkan pada hakikat atas
apa yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang
mendasar atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui
prinsip-prinsip kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan
melalui penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di
atas maka penggunaan metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan
sintaktis biasanya mampu menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata
karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit.Sementara
itu penggunaan metode pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat
menghasilkan desain yang aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur
kadang lebih bersifat abstrak.Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian
dari metode analitis yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).
PERUMUSAN
KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep
desain maka pengertian tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus
dipahami.Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan
dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang
universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian
atau hubungan” (http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka
konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur
yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu
kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data
guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat
yang telah dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami
menuju pada perumusan konsep desain.Empat langkah tersebut berguna untuk
memetakan atau menetapkan jenis dan arah perancangan. Dengan memahami komponen
pemahaman desain maka sebuah objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut
pandang yang tepat apakah masuk dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional,
ataukah ruang komersial. Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik
yang berbeda yang akan menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang
dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan
metode analitis maka sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati,
ditemukan, dan diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam
proses perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan
dijalankan tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan
kerja yang sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola
pikir desain maka desainer dapat menyadari posisinya terhadap objek
perancangan, sehingga ia dapat memandang objek perancangan tersebut secara
menyeluruh meliputi semua unsur yang ada baik itu tapak, program, maupun ide.
Dari sini seorang desainer dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi
yang harus dijalankan, dan bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi
yang masing-masing hanya menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
Dengan memahami metode pendekatan desain
maka sebuah objek perancangan dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan
metode pendekatan tertentu.Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka
semakin fokus pula metode pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode
pendekatan yang tepat akan sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan
telah ditelusuri dengan menggunakan empat langkah tersebut maka objek
perancangan tersebut telah terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang
pemahaman.Dengan demikian maka objek perancangan yang tadinya rumit dan
kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga permasalahan-permasalahan dapat
dipilah-pilah bagian per bagian secara sistematis dan terstruktur. Dengan
adanya pemilahan permasalahan ini maka perumusan konsep (sebagai sebuah sistem
yang terdiri atas sehimpunan unsur yang
melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan
pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna
menghasilkan informasi) dapat dilakukan dengan lebih mudah. Perumusan konsep
yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mencakup banyak unsur akan
dapat menciptakan konsep yang tepat sehingga dapat mengikat hasil perancangan
menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh[9].
SIMPULAN
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat
disederhanakan dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan
mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola
pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan
konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain
tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke
dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah
desain yang terintegrasi secara utuh.
3. MEMBUAT TULISAN
YANG TERKAIT DENGAN ISU/ POTENSIAL ALAMI
MENJADI MODAL POKOK PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR BERKELANJUTAN
LATAR BELAKANG
Seperti yang kita
ketahui, Sumber Daya Alam yang kita miliki adalah terbatas jumlahnya.Dan
pembangunan semakin semarak kini baik pembangunan infrastruktur maupun
perumahan untuk memenuhi kebutuhan manusia.Selain itu, semaraknya Global
Warming semakin terasa kini cuaca tak menentu dan tidak dapat
dipastikan.Bangunan merupakan penyaring faktor alamiah penyebab
ketidaknyamanan, seperti hujan, terik matahari, angin kencang, dan udara panas
tropis, agar tidak masuk ke dalam bangunan.Udara luar yang panas dimodifikasi
bangunan dengan bantuan AC menjadi udara dingin.Dalam hal ini dibutuhkan energi
listrik untuk menggerakkan mesin AC. Demikian juga halnya bagi penerangan malam
hari atau ketika langit mendung, diperlukan energi listrik untuk lampu
penerang.
PEMBAHASAN
Penghematan energi
melalui rancangan bangunan mengarah pada penghematan penggunaan listrik, baik
bagi pendinginan udara, penerangan buatan, maupun peralatan listrik lain.
Dengan strategi perancangan tertentu, bangunan dapat memodifikasi iklim luar
yang tidak nyaman menjadi iklim ruang yang nyaman tanpa banyak mengonsumsi
energi listrik.Kebutuhan energi per kapita dan nasional dapat ditekan jika
secara nasional bangunan dirancang dengan konsep hemat energi.Hal inilah yang
menuntut seorang arsite untuk membuka jalan untuk dapat mengatasi permasalahan
tersebut dengan inovasi-inovasi terbaru.Para arsitek di Barat memulai langkah
merancang bangunan hemat energi sejak krisis energi tahun 1973, sementara
hingga kini-30 tahun sejak krisis energi di negara Barat-belum juga muncul
pemikiran ke arah itu di kalangan arsitek Indonesia.Karena rancangan arsitek
merupakan media yang memberi dampaksecara langsung terhadap lingkungan.Hal
inilah yang memunculkan konsep yang berwawasan lingkungan yaitu Eko-Arsitektur
yang sebagai bentuk kepedulian.Pola perencanaan Eko-arsitektur suatu bangunan
selalu memanfaatkan peredaran alam sebagai berikut.
Perancangan bangunan dapat dilakukan dengan dua cara: secara pasif dan aktif.
Perancangan bangunan dapat dilakukan dengan dua cara: secara pasif dan aktif.
APA YANG DIMAKSUD
DENGAN PERANCANGAN PASIF ?
Perancangan pasif
merupakan cara penghematan energi melalui pemanfaatan energi matahari secara
pasif, yaitu tanpa mengonversikan energi matahari menjadi energi listrik.
Rancangan pasif lebih mengandalkan kemampuan arsitek bagaimana rancangan
bangunan dengan sendirinya mampu “mengantisipasi” permasalahan iklim luar.
Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami. Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan komponen cahayanya dan menepis panasnya.
Strategi perancangan bangunan secara pasif di Indonesia bisa dijumpai terutama pada bangunan lama karya Silaban: Masjid Istiqal dan Bank Indonesia; karya Sujudi: Kedutaan Prancis di Jakarta dan Gedung Departemen Pendidikan Nasional Pusat; serta sebagian besar bangunan kolonial karya arsitek-arsitek Belanda. Meskipun demikian, beberapa bangunan modern di Jakarta juga tampak diselesaikan dengan konsep perancangan pasif, seperti halnya Gedung S Widjojo dan Wisma Dharmala Sakti, keduanya terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Perancangan pasif di wilayah tropis basah seperti Indonesia umumnya dilakukan untuk mengupayakan bagaimana pemanasan bangunan karena radiasi matahari dapat dicegah, tanpa harus mengorbankan kebutuhan penerangan alami. Sinar matahari yang terdiri atas cahaya dan panas hanya akan dimanfaatkan komponen cahayanya dan menepis panasnya.
Strategi perancangan bangunan secara pasif di Indonesia bisa dijumpai terutama pada bangunan lama karya Silaban: Masjid Istiqal dan Bank Indonesia; karya Sujudi: Kedutaan Prancis di Jakarta dan Gedung Departemen Pendidikan Nasional Pusat; serta sebagian besar bangunan kolonial karya arsitek-arsitek Belanda. Meskipun demikian, beberapa bangunan modern di Jakarta juga tampak diselesaikan dengan konsep perancangan pasif, seperti halnya Gedung S Widjojo dan Wisma Dharmala Sakti, keduanya terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
APA YANG DIMAKSUD
DENGAN PERANCANGAN AKTIF?
Dalam rancangan aktif,
energi matahari dikonversi menjadi energi listrik sel solar, kemudian energi
listrik inilah yang digunakan memenuhi kebutuhan bangunan.Dalam perancangan
secara aktif, secara simultan arsitek juga harus menerapkan strategi
perancangan secara pasif. Tanpa penerapan strategi perancangan pasif,
penggunaan energi dalam bangunan akan tetap tinggi apabila tingkat kenyamanan
termal dan visual harus dicapai.
Strategi perancangan aktif dalam bangunan dengan sel solar belum dijumpai di Indonesia saat ini.Penggunaan sel solar masih terbatas pada kebutuhan terbatas bagi penerangan di desa-desa terpencil Indonesia.
Salah satu bangunan yang dianggap paling berhasil menerapkan teknik perancangan pasif dan aktif secara simultan dan sangat berhasil dalam mengeksploitasi penggunaan sel solar adalah bangunan paviliun Inggris (British pavillion).Bangunan ini dirancang Nicholas Grimshaw & Partner, arsitek yang juga merancang Waterloo International Railway Station yang menghubungkan Inggris dengan Perancis melalui jalur bawah laut. Paviliun Inggris ini dibangun di kompleks Expo 1992 di kota Seville, Spanyol, sebagai perwujudan hasil sayembara tahun 1989 yang dimenangi arsitek tersebut.
Langkah merancang bangunan hemat energi baik secara pasif maupun aktif seperti di atas perlu dicermati.Sudah waktunya para arsitek Indonesia memulainya.Jika dalam waktu dekat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak neto dan harga BBM dan tarif listrik dalam negeri melambung, sebagian besar bangunan yang boros energi tidak lagi dapat berfungsi. Pemakai bangunan akan menemui kesulitan menanggung biaya listrik untuk lift, AC, pompa, dan peralatan lain, yang tinggi. Masih ada waktu untuk menghindari situasi buruk semacam ini dengan memulai merancang bangunan yang hemat energi, hemat listrik, sejak sekarang.
Strategi perancangan aktif dalam bangunan dengan sel solar belum dijumpai di Indonesia saat ini.Penggunaan sel solar masih terbatas pada kebutuhan terbatas bagi penerangan di desa-desa terpencil Indonesia.
Salah satu bangunan yang dianggap paling berhasil menerapkan teknik perancangan pasif dan aktif secara simultan dan sangat berhasil dalam mengeksploitasi penggunaan sel solar adalah bangunan paviliun Inggris (British pavillion).Bangunan ini dirancang Nicholas Grimshaw & Partner, arsitek yang juga merancang Waterloo International Railway Station yang menghubungkan Inggris dengan Perancis melalui jalur bawah laut. Paviliun Inggris ini dibangun di kompleks Expo 1992 di kota Seville, Spanyol, sebagai perwujudan hasil sayembara tahun 1989 yang dimenangi arsitek tersebut.
Langkah merancang bangunan hemat energi baik secara pasif maupun aktif seperti di atas perlu dicermati.Sudah waktunya para arsitek Indonesia memulainya.Jika dalam waktu dekat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak neto dan harga BBM dan tarif listrik dalam negeri melambung, sebagian besar bangunan yang boros energi tidak lagi dapat berfungsi. Pemakai bangunan akan menemui kesulitan menanggung biaya listrik untuk lift, AC, pompa, dan peralatan lain, yang tinggi. Masih ada waktu untuk menghindari situasi buruk semacam ini dengan memulai merancang bangunan yang hemat energi, hemat listrik, sejak sekarang.